Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku. Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan. "Aku tidak ingin pergi..." Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu. Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan. Di umur ke 17, warna rambut Amaris berubah meng
Aku benar-benar minta maaf tidak bisa meninggalkan egoku. Aku yang sudah terpaku padamu seorang tak bisa merasakan nyaman dengan orang lain. Kau, hanya kau saja yang ada di pikiranku, dan hanya kepada kau saja aku ingin berbicara. Aku berusaha keras untuk tak lagi melarangmu melakukan apapun yang kau inginkan. Namun, ternyata aku menyiksa diriku sendiri. Aku tak bisa. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang menjadi favoritmu ketika kau buka matamu dan menyapa pagi meskipun tanpaku di sampingmu. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang kau inginkan sepanjang hari. Aku ingin menjadi satu-satunya hal yang kau butuhkan setiap waktu. Ternyata tidak bisa. Aku tidak ingin memenangkan egoku lagi. Aku takut muak menyergapku dengan cepat, memintaku untuk segera pergi darimu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku masih ingin bersamamu, meskipun nanti--cepat atau lambat--kita akan kembali menjadi sepasang asing yang mencoba tak saling menemukan untuk kedua kalinya. — kani