Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku.
Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan.
"Aku tidak ingin pergi..."
Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu.
Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan.
Di umur ke 17, warna rambut Amaris berubah menggelap. Hingga hampir berwarna hitam legap dengan beberapa kerlip yang tampak jelas ketika malam hari. Kerlipan itu seperti bintang, dan munculnya hanya saat bulan sabit.
Saat itulah ia menyadari bahwa takdirnya sudah berubah. Amaris semakin lama semakin murung. Tak ada lagi senyum di wajahnya. Tubuhnya semakin kurus, warna kulitnya memucat. Amaris tahu bahwa kini takdirnya adalah untuk kembali ke pelukan Dewi Malam, Nyx yang sangat dihormati di desa ini. Dewi yang memberi berkah kepada Desa Bulan, desa yang sudah kami tinggali sejak lahir.
"Kau tahu, Rayyen, aku sangat mencintai desa ini."
Tiba-tiba saja, Amaris kembali menjadi dirinya semula. Pribadi yang hangat dan periang, dengan senyum manis yang akan membuat semua lelaki di desa kami menyukainya. Tepatnya satu minggu sebelum tradisi di bulan purnama, ketika Amaris berusia 20 tahun. Waktu-waktu terakhir kami habiskan dengan membuat banyak kenangan. Dan aku menyatakan perasaanku pada Amaris.
"Kau harus mencari gadis lain, Rayyen. Aku... tidak mungkin menikah denganmu."
Nyonya Ester dan Tuan Ron, orang tua Amaris tak lagi tinggal di desa kami. Tempat ini penuh dengan kenangan anaknya. Mereka memutuskan untuk pindah ke pusat kota dan menyibukkan diri di sana. Tak ada lagi kabar mengenai mereka.
Amaris adalah satu-satunya anak mereka, tentu mereka sangat menyayanginya dengan sepenuh hati. Siapa sangka Amaris-lah yang akan menjadi anak pilihan Dewi Malam, ikut berpendar dengan cahayanya yang lembut di langit malam. Mengawasi kami dari atas sana, begitulah aku menyebutnya.
Dan ku harap Amaris bisa bahagia di sana.
---oOo---
#kaniyoáraa
Komentar