Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku. Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan. "Aku tidak ingin pergi..." Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu. Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan. Di umur ke 17, warna rambut Amaris ber...
How to not feeling blue 24/7?