Aku akhirnya mencapai titik terendahku.
Air mata di sudut pipi mulai mengering.
Netraku saja sampai lelah menangis.
Kenapa kau tak lelah membuatku menangis?
Aku akhirnya mencapai titik terendahku.
Tanpa kawan, tanpa kau, awan.
Sinar surya melukaiku, kau enggan lagi melindungiku.
Aku kepanasan, aku kesakitan.
Aku melebur menjadi sepenggal kisah lama yang tak ingin kau kenang yang dengan cepat diserap tanah.
Dibawanya aku ke dalam tumpukan sampah yang terpendam dalam.
Tak akan ditemukan siapapun.
Dibawanya aku ke dalam tumpukan sampah yang terpendam dalam.
Tak akan ditemukan siapapun.
Aku akhirnya mencapai titik terendahku.
Jarak kita yang bagai jarak Venus ke Pluto, semakin lama semakin renggang.
Sepertinya kau sudah menemukan alasan baru untuk tetap menjadi awan yang terus menurunkan hujan.
Dan itu bukan karena kau hendak melindungi sebutir debu di jalanan ini, bukan?
Seburuk itukah aku?
Jika iya, katakan saja iya.
Jika tidak, aku tahu kau berbohong.
Aku sudah terbiasa dengan segala alibi pintarmu.
Terus menerus membiarkanku tersakiti oleh berjuta pasukanmu.
Aku hanya bisa pasrah, dan tersenyum.
Dingin.
Kau semakin membuat tubuhku dingin.
Tapi setidaknya ini lebih baik daripada tersakiti mentari.
Aku bisa ikut menjadi awan tidak?
Tanpa alasan.
Aku hanya ingin air mataku ikut mengguyur manusia-manusia patah hati.
Seperti aku kini.
—kaniyoàraa
Komentar