Langsung ke konten utama

Awan yang Menurunkan Hujan

Aku akhirnya mencapai titik terendahku. 
Air mata di sudut pipi mulai mengering.
Netraku saja sampai lelah menangis. 
Kenapa kau tak lelah membuatku menangis? 

Aku akhirnya mencapai titik terendahku. 
Tanpa kawan, tanpa kau, awan. 
Sinar surya melukaiku, kau enggan lagi melindungiku.
Aku kepanasan, aku kesakitan.
Aku melebur menjadi sepenggal kisah lama yang tak ingin kau kenang yang dengan cepat diserap tanah. 
Dibawanya aku ke dalam tumpukan sampah yang terpendam dalam. 
Tak akan ditemukan siapapun.

Aku akhirnya mencapai titik terendahku. 
Jarak kita yang bagai jarak Venus ke Pluto, semakin lama semakin renggang. 
Sepertinya kau sudah menemukan alasan baru untuk tetap menjadi awan yang terus menurunkan hujan. 
Dan itu bukan karena kau hendak melindungi sebutir debu di jalanan ini, bukan? 

Seburuk itukah aku? 
Jika iya, katakan saja iya. 
Jika tidak, aku tahu kau berbohong. 
Aku sudah terbiasa dengan segala alibi pintarmu.
Terus menerus membiarkanku tersakiti oleh berjuta pasukanmu.
Aku hanya bisa pasrah, dan tersenyum. 

Dingin. 
Kau semakin membuat tubuhku dingin. 
Tapi setidaknya ini lebih baik daripada tersakiti mentari. 
Aku bisa ikut menjadi awan tidak? 
Tanpa alasan. 
Aku hanya ingin air mataku ikut mengguyur manusia-manusia patah hati. 
Seperti aku kini. 


—kaniyoàraa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10pm thoughts #3

Aku benar-benar minta maaf tidak bisa meninggalkan egoku. Aku yang sudah terpaku padamu seorang tak bisa merasakan nyaman dengan orang lain. Kau, hanya kau saja yang ada di pikiranku, dan hanya kepada kau saja aku ingin berbicara. Aku berusaha keras untuk tak lagi melarangmu melakukan apapun yang kau inginkan. Namun, ternyata aku menyiksa diriku sendiri. Aku tak bisa. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang menjadi favoritmu ketika kau buka matamu dan menyapa pagi meskipun tanpaku di sampingmu. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang kau inginkan sepanjang hari. Aku ingin menjadi satu-satunya hal yang kau butuhkan setiap waktu. Ternyata tidak bisa. Aku tidak ingin memenangkan egoku lagi. Aku takut muak menyergapku dengan cepat, memintaku untuk segera pergi darimu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku masih ingin bersamamu, meskipun nanti--cepat atau lambat--kita akan kembali menjadi sepasang asing yang mencoba tak saling menemukan untuk kedua kalinya. — kani...

Surat Untuk Kakak

Hai, kakakku.  Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, ya? Hehe, maafkan aku. Bukannya aku melupakanmu, bukannya aku mengingatmu hanya ketika aku sedang bersedih, hanya saja ada satu dua hal yang menyita pikiranku hingga tak dapat kualihkan untuk sekedar menyapamu. Aku tak sepandai dirimu dalam hal menulis, idolaku. Aku hanya bisa mencurahkan apa yang kumau meskipun itu berantakan. Aku tahu kau pun akan memakluminya. Biar aku katakan ini. Kakak, aku menyayangimu. Aku menyukai bagaimana kau fokus mengejar targetmu, menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan ditengah kesibukanmu kau masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku.  Aku akan selalu baik-baik saja, kak. Selama kau juga baik. Terkadang ketika malam datang, sunyi memancing potongan-potongan ingatan tentang kebersamaan kita dulu. Hal-hal kecil yang menyenangkan, aneh, dan mungkin memalukan bagiku terus berputar tanpa lelah. Aku masih ingat bagaimana kau selalu menyemangatik...

Amaris | #00 - Prologue

Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku.  Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan.  "Aku tidak ingin pergi..." Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu.  Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan.  Di umur ke 17, warna rambut Amaris ber...