Langsung ke konten utama

Rasa Suka itu Egois

Apa itu rasa suka?


Dulu, aku benar-benar tak mengerti makna dari kata 'suka'. 



Ketika semua temanku berkata bahwa mereka menyukai k-pop dan meneriaki biasnya, aku mencoba untuk 'menyukai'nya juga meskipun aku sama sekali tidak memahaminya--dan tidak benar-benar menyukainya. Aku tak mengenal siapa saja anggotanya, tak mengerti seberapa banyak lagunya, tak tahu riwayat singkat tentang mereka, tak tahu apapun. Zero.

Ketika ada temanku yang lain menyukai sebuah fandom dari suatu anime, akupun juga ikut mencoba 'menyukai'nya meskipun sebenernya tak tertarik sedikitpun. 

Ketika ada seseorang bilang bahwa dia menyukaiku, aku hanya tersenyum dan membuka pintuku lebar-lebar. Aku kembali mencoba 'menyukai' keberadaannya di sekitarku, meskipun sebenernya aku tak ingin dia ada. 

Aku benar-benar tak pernah memahami makna dari 'suka', aku hanya menerima kehadiran orang-orang baik dan 'kesukaan' mereka yang mungkin bisa membuatku ikut tertarik juga. Namun, itu salah. Aku tak pernah benar-benar menyukai sesuatu. Aku hanya ingin ikut berbaur dengan mengikuti semua hal yang bisa menjadi bahan pembicaraan antara aku dan kawan yang lain. Hatiku tak pernah mengiyakan rasa suka dari semua hal yang kudapat. Hanya saja aku senang ketika bisa membahas sesuatu bersama lainnya. 

Aku benar-benar tak pernah memahami makna dari 'suka' hingga aku bertemu denganmu. Aku tak tahu apa ini benar-benar rasa suka, namun aku selalu ingin bisa bersamamu. Membahas semua hal konyol denganmu. Ingin bertemu dan menjitak kepalamu. Ingin jalan bersamamu dan makan es krim berdua saja. Ingin tahu semua tentangmu, kisah hidupmu, keluargamu, apapun yang berkaitan denganmu.

Ketika aku mendengar kau mengatakan, "Aku menyukaimu," tiba-tiba tak ada rasa ragu untuk mengatakan "Aku juga menyukaimu.". Hatiku mengangguk setuju diikuti degup jantungku yang berirama senang. 

Jika kau bertanya, apa hal yang aku sukai di dunia ini, maka dengan yakin aku akan menjawab, "Dirimu." 


kaniyóaraa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10pm thoughts #3

Aku benar-benar minta maaf tidak bisa meninggalkan egoku. Aku yang sudah terpaku padamu seorang tak bisa merasakan nyaman dengan orang lain. Kau, hanya kau saja yang ada di pikiranku, dan hanya kepada kau saja aku ingin berbicara. Aku berusaha keras untuk tak lagi melarangmu melakukan apapun yang kau inginkan. Namun, ternyata aku menyiksa diriku sendiri. Aku tak bisa. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang menjadi favoritmu ketika kau buka matamu dan menyapa pagi meskipun tanpaku di sampingmu. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang kau inginkan sepanjang hari. Aku ingin menjadi satu-satunya hal yang kau butuhkan setiap waktu. Ternyata tidak bisa. Aku tidak ingin memenangkan egoku lagi. Aku takut muak menyergapku dengan cepat, memintaku untuk segera pergi darimu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku masih ingin bersamamu, meskipun nanti--cepat atau lambat--kita akan kembali menjadi sepasang asing yang mencoba tak saling menemukan untuk kedua kalinya. — kani...

Surat Untuk Kakak

Hai, kakakku.  Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, ya? Hehe, maafkan aku. Bukannya aku melupakanmu, bukannya aku mengingatmu hanya ketika aku sedang bersedih, hanya saja ada satu dua hal yang menyita pikiranku hingga tak dapat kualihkan untuk sekedar menyapamu. Aku tak sepandai dirimu dalam hal menulis, idolaku. Aku hanya bisa mencurahkan apa yang kumau meskipun itu berantakan. Aku tahu kau pun akan memakluminya. Biar aku katakan ini. Kakak, aku menyayangimu. Aku menyukai bagaimana kau fokus mengejar targetmu, menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan ditengah kesibukanmu kau masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku.  Aku akan selalu baik-baik saja, kak. Selama kau juga baik. Terkadang ketika malam datang, sunyi memancing potongan-potongan ingatan tentang kebersamaan kita dulu. Hal-hal kecil yang menyenangkan, aneh, dan mungkin memalukan bagiku terus berputar tanpa lelah. Aku masih ingat bagaimana kau selalu menyemangatik...

Amaris | #00 - Prologue

Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku.  Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan.  "Aku tidak ingin pergi..." Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu.  Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan.  Di umur ke 17, warna rambut Amaris ber...