Terkadang aku ingin berhenti
menulis. Meskipun itu keahlianku, meskipun itu kegemaranku, meskipun hanya itu
yang bisa kulakukan. Ku selalu merasa menulis sangat menyenangkan. Namun di
sisi lain, menulis benar-benar terasa menyakitkan.
Kau tak tahu sesak yang menyergap
ketika pikiran cemerlang tertahan jemari yang tak mampu menggoreskan pena.
Bagaimana kau meratapi setiap diksi hampa yang tertulis tanpa makna. Bagaimana
kau menyadari tak ada perasaan yang tertuang dalam karya.
Kau bahkan tak tahu, atau bahkan
tak menyadarinya. Kehadiranmu membuatku semakin sulit. Semua rasa melebur dalam
dada, karena cinta yang kau cipta. Aku kalut, bingung, tapi tak menolaknya. Aku
menikmatinya, aku menyukainya. Meski membuat otak ini hanya terisi olehmu,
meski itu membuat semua diksi beraturan menjadi barisan gombalan, meski itu
membuat degup jantung tak beraturan dan menyesakkan. Aku sangat menikmatinya.
Lalu kau pergi. Hingga tersisa
ruang kosong penuh pilu. Rasanya hancur. Kenikmatan semata karena dorongan
cinta begitu saja sirna. Barisan puisi sendu tercipta, panggung drama dunia
terasa hanya menampilkan drama kesedihan. Lembar demi lembar kertas basah akan
air mata, sobek dan hilang ditelan rasa sakit yang terlampau dalam.
Aku muak. Diri ini hanya tersisa
serpihan-serpihan rapuh. Aku bisa lebih rusak dari ini. Sampai tangan gemetar
tak mampu menulis lagi. Bahkan isi hati tak kuasa untuk diungkap keluar dari
memori.
Maka tetap kutulis ini. Sebuah
karya penuh rasa sakit. Sebuah karya penuh dengan ironi. Ironi yang lebih kejam
dari cinta bertepuk sebelah hati. Tanpa darah, hanya air mata yang menggenang
dalam ruang perih. Meski tak mampu, tangan ini terus menulis. Dan menulis.
Menolak otak untuk melupa. Mencegah hati ini tersembuhkan begitu mudah.
Di sini, dalam kisah ini, tanpa
kau lagi, aku sendiri. Mengenang sebuah kisah kasih, antara aku dan kau. Kau
dan aku. Dan aku sendiri yang akan mengakhirinya.
Aku penulis. Dan aku yang akan menulis akhir ceritaku
sendiri.
—kaniyóaraa
Komentar