Sampai di umurku yang ke-18 tahun ini, aku masih memikirkan apa sebenarnya tujuanku untuk hidup.
Mencapai surga? menghindari neraka?
Apa serealistis itu saja?
Aku tak tahu.
Yang ku tahu hanyalah hidup menjalani semua yang sudah seharusnya dijalani orang di umur segini. Belajar, menuntut ilmu setinggi mungkin, lulus dengan nilai bagus, bekerja, menemukan jodoh, lalu menikah. Mempunyai anak. Dan akhirnya, bersama keluarga kecil yang kubangun, aku hidup bersama jodohku hingga hari tua, hingga napas terakhir kuhembuskan dan genggaman tangan kita terlepas.
Mungkin seperti itu?
Aku yakin diriku tidak seperti itu.
Aku hanya ingin menjalani kehidupan kampus yang biasa, bertemu dengan kawan yang biasa, bercanda ria, menikmati masa muda dengan penuh petualangan dan tantangan, lalu—
Entahlah. Aku pun tak tahu harus memikirkan apa setelahnya.
Setelah lulus, aku ingin bekerja? Entahlah. Aku tak suka dikekang, terikat dalam suatu instansi terdengar melelahkan.
Mungkin membuka usaha sendiri? Entahlah. Rasanya aneh saja, memikirkan diriku dibantu beberapa karyawan mengurusi perusahaanku sendiri. Aku tak pandai memimpin.
Mungkin freelance? mengandalkan bakat menulis yang tak seberapa ini, mencoba membuat karya-karya hebat? Entahlah. Aku sendiripun tak yakin dengan kedua tanganku yang bisa kapanpun berkhianat, menulis apa yang tak kusuka.
Emtahlah, kawan. Tak ada yang kudambakan dari sebuah masa depan. Aku hanya ingin menjalani hari apa adanya, menghadapi hari esok dengan semangat yang sama, mencoba berdamai dengan diriku sendiri, yakin bahwa esok aku masih hidup untuk menghirup oksigen.
Apa aku harus menuruti apa kata orang tuaku saja? Katanya, agar hidupku mudah dan selalu berkah. Tapi, tidak semua pilihan orang tua adalah sesuatu yang kusenangi. Katanya, memaksakan pilihan adalah definisi lain dari bunuh diri perlahan.
Jika aku bisa, maka aku ingin bertemu Tuhan. Aku ingin tahu apa yang Ia tuliskan dalam kisahku. Kuharap Tuhan menyayangiku, memberiku akhir yang biasa-biasa saja. Tidak dengan pertumpahan darah atau linang air mata yang berlebihan.
Ah, rasanya aku ingin mati dengan tenang. Tak perlu ada yang menangisiku. Aku tak mampu melihat semua orang yang kusayangi menangis karena kehilanganku. Hei, aku hanyalah salah satu dari sekian milyar titik debu di semesta. Aku tak ada apa-apanya dibanding rasa cinta kalian yang jauh lebih besar.
Ah, mungkin itu akhir yang ku mau, dari sebuah perjalanan hidupku?
—kaniyoàraa
Komentar