Langsung ke konten utama

Seribu Mimpi Yang Muncul Bersamaan Dengan Dirimu

Jiwa kosongku hampir saja disinggahi setan jika kau tidak tiba-tiba muncul di sini, di tengah hutan gelap dengan lentera sederhana di tangan kirimu. Tangan kananmu terulur padaku, wajahmu penuh luka gores dan lumpur. 

"Aku akan menyelamatkanmu." Begitu katamu. Aku hanya pasrah ketika kau kemudian menggendongku, membawaku pulang ke tempat dimana hawa hangat bisa kau dapatkan di depan perapian yang menyala. 

Hangat. Dalam pelukanmu, aku bisa begitu nyaman.  Kupejamkan mataku untuk sejenak.

Beberapa saat kemudian, ketika kubuka mataku kembali, kusadari diriku ada di tengah padang bunga, mengenakan gaun pernikahan. Kulihat dirimu berdiri di sampingku, tampak menawan dengan setelan jas putih yang senada dengan gaunku. Kau menatapku dalam-dalam, membuatku tak mampu membuang pandangan. Wajahmu mendekat, kupejamkan mataku.

Ketika kusadari, kita sudah duduk di atas sebuah kasur. Kamar kecil yang nyaman. Seorang bayi tampak asyik mengemut ibu jariku. Kau tak henti mengelus kepalanya yang rapuh. 

Tiba-tiba gelap, kemudian sinar terang menyilaukanku. Sebuah pantai terhampar di depanku. Kau dan seorang anak kecil tampak asyik berlarian dengan riang, bermain air dan membuat istana pasir. Entah mengapa, melihatnya saja membuatku tersenyum tenang. 

"Mama!" anak itu mendekat ke arahku, ia memperlihatkan sebuah kerang cantik di telapak tangannya. "Ini untuk mama." lanjutnya, dengan tersenyum manis sekali.

Tiba-tiba langit berubah berwarna-warni, memperlihatkan banyak potongan kejadian yang sebelumnya tak pernah kulakukan, bahkan tak pernah terpikir olehku. Ada kau dan aku, bergandengan tangan menyusuri jalanan lengang kota metropolitan, membeli es krim bersama, bercanda ria hingga tengah malam, bermain game bersama, dan semua hal manis yang bisa kau temukan dalam sebuah cerita pasangan yang berbahagia.

 Seorang anak kecil semakin lama beranjak dewasa, hingga dia menemukan pekerjaan dan cinta yang cocok untuknya. Kau tampak sangat bahagia melihatnya berdiri gagah di pelaminan, begitupun aku yang tak henti menahan tangis.

 Langit mendadak gelap, dan aku terbangun dari tidur siangku. Kelas sudah berakhir, dan kudapati dirimu duduk di sampingku. Tanganmu terulur padaku, dengan wajah penuh gurat merah malu-malu, "Mau pulang bersama?".


 — kaniyoàraa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10pm thoughts #3

Aku benar-benar minta maaf tidak bisa meninggalkan egoku. Aku yang sudah terpaku padamu seorang tak bisa merasakan nyaman dengan orang lain. Kau, hanya kau saja yang ada di pikiranku, dan hanya kepada kau saja aku ingin berbicara. Aku berusaha keras untuk tak lagi melarangmu melakukan apapun yang kau inginkan. Namun, ternyata aku menyiksa diriku sendiri. Aku tak bisa. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang menjadi favoritmu ketika kau buka matamu dan menyapa pagi meskipun tanpaku di sampingmu. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang kau inginkan sepanjang hari. Aku ingin menjadi satu-satunya hal yang kau butuhkan setiap waktu. Ternyata tidak bisa. Aku tidak ingin memenangkan egoku lagi. Aku takut muak menyergapku dengan cepat, memintaku untuk segera pergi darimu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku masih ingin bersamamu, meskipun nanti--cepat atau lambat--kita akan kembali menjadi sepasang asing yang mencoba tak saling menemukan untuk kedua kalinya. — kani...

Surat Untuk Kakak

Hai, kakakku.  Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, ya? Hehe, maafkan aku. Bukannya aku melupakanmu, bukannya aku mengingatmu hanya ketika aku sedang bersedih, hanya saja ada satu dua hal yang menyita pikiranku hingga tak dapat kualihkan untuk sekedar menyapamu. Aku tak sepandai dirimu dalam hal menulis, idolaku. Aku hanya bisa mencurahkan apa yang kumau meskipun itu berantakan. Aku tahu kau pun akan memakluminya. Biar aku katakan ini. Kakak, aku menyayangimu. Aku menyukai bagaimana kau fokus mengejar targetmu, menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan ditengah kesibukanmu kau masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku.  Aku akan selalu baik-baik saja, kak. Selama kau juga baik. Terkadang ketika malam datang, sunyi memancing potongan-potongan ingatan tentang kebersamaan kita dulu. Hal-hal kecil yang menyenangkan, aneh, dan mungkin memalukan bagiku terus berputar tanpa lelah. Aku masih ingat bagaimana kau selalu menyemangatik...

Amaris | #00 - Prologue

Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku.  Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan.  "Aku tidak ingin pergi..." Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu.  Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan.  Di umur ke 17, warna rambut Amaris ber...