Bukannya bermaksud menjadi tipikal manusia pendendam, hanya saja ada beberapa hal yang membuatku mengharuskan rasa itu muncul begitu saja.
Satu dua hal yang terus menerus berubah menjadi sebukit kekecewaan, kesedihan.
Aku membencinya, semua hal yang terjadi di masa lalu. Ketika mata ini belum terpaut dengan matamu yang menawan. Lugunya diriku dulu yang suka sekali berlarian kesana kemari, menjelajahi semua pintu hati yang dibukakan untukku. Tak mengenal apa itu rumah, tak mengenal arti kasih sayang sesungguhnya.
Aku benci ketika kau membuatku harus mengingatnya. Aku benci ketika kau membuatku harus merelakannya, membiarkannya karena itu sudah terlanjur terjadi. Hanya saja, aku tak menyangka hal semacam itu pernah terjadi dalam hidupku.
Kau, dengan santainya hanya tersenyum dan berkata, "Tenanglah, sayang. Itu hanya masa lalu." lalu mencium keningku dengan penuh cinta. Aku hanya bisa menunduk malu, meski separuh hatiku ingin menjerit, sisanya berdemo karena tak sejalan dengan pemikiranmu.
Aku tidak pendendam.
Hanya saja, aku takut kehilanganmu ketika kau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hidupku. Kau terlanjur menjadi berlian yang sangat berharga, yang harus kujaga dari para pencuri.
"Akupun juga mempunyai masa lalu." katamu, menenangkanku. Aku diam, kau pun diam. Kau tak pernah menceritakan cintamu yang sudah berlalu. Ataukah hatimu kini hanya terpaut denganku, aku tak tahu. Tapi kuharap begitu, karena aku terlanjur menyayangimu.
Kau menerimaku sepenuh hati, tak memandang bagaimana masa lalu menabrak akal sehatku, tak memandang rupa buruk ini. Kau terus tersenyum, memandangiku, terus menggumamkan perasaan cintamu padaku yang memuncak dan meletup-letup itu.
Kali ini aku ikut tersenyum, balas memandangimu dengan jiwa bahagiaku yang hampir meledak.
Aku menyayangimu.
— kaniyoàraa
Komentar