Langsung ke konten utama

Amaris | #00 - Prologue

Itu terakhir kalinya aku melihat Amaris dalam hidupku. 

Malam purnama waktu itu, Amaris yang berdiri di tepi tebing disinari cahaya rembulan perlahan menghilang dari mataku. Tubuhnya berubah menjadi ribuan bahkan jutaan serpih cahaya yang terbang ke langit. Kala itu, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya yang ketakutan. Wajahnya yang manis sangat pucat dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Sorot matanya memancarkan kesedihan. 

"Aku tidak ingin pergi..."

Kalimat terakhir darinya membuat kedua mataku memanas. Aku menangis di hari kepergiannya, dan hari-hari berikutnya. Hingga hampir satu tahun terlewati begitu saja, aku masih belum bisa melepas bayang-bayang malam itu. 

Amaris pergi sambil menangis. Air matanya tampak menetes deras di pipinya sesaat sebelum tubuhnya perlahan berubah transparan. Amaris menyatu dengan warna langit malam, seperti warna rambutnya, rambut yang dulunya berwarna silver, yang selalu ia banggakan. 

Di umur ke 17, warna rambut Amaris berubah menggelap. Hingga hampir berwarna hitam legap dengan beberapa kerlip yang tampak jelas ketika malam hari. Kerlipan itu seperti bintang, dan munculnya hanya saat bulan sabit. 

Saat itulah ia menyadari bahwa takdirnya sudah berubah. Amaris semakin lama semakin murung. Tak ada lagi senyum di wajahnya. Tubuhnya semakin kurus, warna kulitnya memucat. Amaris tahu bahwa kini takdirnya adalah untuk kembali ke pelukan Dewi Malam, Nyx yang sangat dihormati di desa ini. Dewi yang memberi berkah kepada Desa Bulan, desa yang sudah kami tinggali sejak lahir. 

"Kau tahu, Rayyen, aku sangat mencintai desa ini."  

Tiba-tiba saja, Amaris kembali menjadi dirinya semula. Pribadi yang hangat dan periang, dengan senyum manis yang akan membuat semua lelaki di desa kami menyukainya. Tepatnya satu minggu sebelum tradisi di bulan purnama, ketika Amaris berusia 20 tahun. Waktu-waktu terakhir kami habiskan dengan membuat banyak kenangan. Dan aku menyatakan perasaanku pada Amaris.

"Kau harus mencari gadis lain, Rayyen. Aku... tidak mungkin menikah denganmu." 


Nyonya Ester dan Tuan Ron, orang tua Amaris tak lagi tinggal di desa kami. Tempat ini penuh dengan kenangan anaknya. Mereka memutuskan untuk pindah ke pusat kota dan menyibukkan diri di sana. Tak ada lagi kabar mengenai mereka. 

Amaris adalah satu-satunya anak mereka, tentu mereka sangat menyayanginya dengan sepenuh hati. Siapa sangka Amaris-lah yang akan menjadi anak pilihan Dewi Malam, ikut berpendar dengan cahayanya yang lembut di langit malam. Mengawasi kami dari atas sana, begitulah aku menyebutnya. 


Dan ku harap Amaris bisa bahagia di sana.


---oOo---

#kaniyoáraa

Komentar

SEAN34 mengatakan…
Akhirnya 🥺

Postingan populer dari blog ini

10pm thoughts #3

Aku benar-benar minta maaf tidak bisa meninggalkan egoku. Aku yang sudah terpaku padamu seorang tak bisa merasakan nyaman dengan orang lain. Kau, hanya kau saja yang ada di pikiranku, dan hanya kepada kau saja aku ingin berbicara. Aku berusaha keras untuk tak lagi melarangmu melakukan apapun yang kau inginkan. Namun, ternyata aku menyiksa diriku sendiri. Aku tak bisa. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang menjadi favoritmu ketika kau buka matamu dan menyapa pagi meskipun tanpaku di sampingmu. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya hal yang kau inginkan sepanjang hari. Aku ingin menjadi satu-satunya hal yang kau butuhkan setiap waktu. Ternyata tidak bisa. Aku tidak ingin memenangkan egoku lagi. Aku takut muak menyergapku dengan cepat, memintaku untuk segera pergi darimu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku masih ingin bersamamu, meskipun nanti--cepat atau lambat--kita akan kembali menjadi sepasang asing yang mencoba tak saling menemukan untuk kedua kalinya. — kani...

Surat Untuk Kakak

Hai, kakakku.  Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, ya? Hehe, maafkan aku. Bukannya aku melupakanmu, bukannya aku mengingatmu hanya ketika aku sedang bersedih, hanya saja ada satu dua hal yang menyita pikiranku hingga tak dapat kualihkan untuk sekedar menyapamu. Aku tak sepandai dirimu dalam hal menulis, idolaku. Aku hanya bisa mencurahkan apa yang kumau meskipun itu berantakan. Aku tahu kau pun akan memakluminya. Biar aku katakan ini. Kakak, aku menyayangimu. Aku menyukai bagaimana kau fokus mengejar targetmu, menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan ditengah kesibukanmu kau masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku.  Aku akan selalu baik-baik saja, kak. Selama kau juga baik. Terkadang ketika malam datang, sunyi memancing potongan-potongan ingatan tentang kebersamaan kita dulu. Hal-hal kecil yang menyenangkan, aneh, dan mungkin memalukan bagiku terus berputar tanpa lelah. Aku masih ingat bagaimana kau selalu menyemangatik...