Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Surat Untuk Kakak

Hai, kakakku.  Sepertinya ini surat pertamaku untukmu, ya? Hehe, maafkan aku. Bukannya aku melupakanmu, bukannya aku mengingatmu hanya ketika aku sedang bersedih, hanya saja ada satu dua hal yang menyita pikiranku hingga tak dapat kualihkan untuk sekedar menyapamu. Aku tak sepandai dirimu dalam hal menulis, idolaku. Aku hanya bisa mencurahkan apa yang kumau meskipun itu berantakan. Aku tahu kau pun akan memakluminya. Biar aku katakan ini. Kakak, aku menyayangimu. Aku menyukai bagaimana kau fokus mengejar targetmu, menyelesaikan semua pekerjaanmu, dan ditengah kesibukanmu kau masih menyempatkan diri untuk menanyakan kabarku.  Aku akan selalu baik-baik saja, kak. Selama kau juga baik. Terkadang ketika malam datang, sunyi memancing potongan-potongan ingatan tentang kebersamaan kita dulu. Hal-hal kecil yang menyenangkan, aneh, dan mungkin memalukan bagiku terus berputar tanpa lelah. Aku masih ingat bagaimana kau selalu menyemangatik...

Penyebab Sakit Kepala

Tau kah kamu? Jika kau sedang sakit kepala, Itu tandanya seseorang tengah memikirkanmu. Karena kalian saling berbagi pikiran, Berbagi rasa, Berbagi dunia dalam kontak batin tak teraba. Tapi siapa peduli? Jika kau tengah memikirkannya, Namun malah kau yang sakit kepala, Tandanya kau harus menyerah. Kenapa? Bisa saja sebenarnya kau punya penyakit. Penyakit yang lain dari jatuh cinta. — kanè | kaniyoàraa

Yang Berusaha Membenci Hujan

Sebenarnya aku tak membenci hujan.  Aku menyukai bagaimana tiap butir beningnya membasahi pelipisku sebelum turun ke pipi, lalu menetes ke hati. Aku menyukai bagaimana hujan membawa segumpal kenangan masa lalu yang tak kuharap akan datang kembali, namun itu memberiku segenap kekuatan untuk berani bangun esok hari dan terus melangkah maju. Aku menyukai bagaimana rasanya menangis di bawah hujan. Dengan baik hati hujan menyembunyikan isak tangis dibalik deras air yang terus menghujam tanah tanpa ampun. Namun kemudian, aku membenci hujan.  Aku tak lagi bisa tenang ketika hujan datang deras bersama gemuruh petir. Hatiku berdetak tak karuan, cemas takut bila tiba-tiba listrik padam. Aku takut gelap, tapi hujan menghiraukan itu.  Aku tak lagi bisa menikmati dinginnya hawa ketika hujan datang. Kepalaku tiba-tiba disesaki berbagai pemikiran negatif yang membuatku harus duduk atau berbaring, lalu menangis pelan untuk menghilangkannya.  ...

Penyesalan (kek)Anak(an)

Aku hanyalah seorang gadis rapuh, yang tak jarang menangis karena hal sepele. Yang suka mempermasalahkan hal kecil hingga jadi bara amarah. Yang tak bisa diam, overheboh terhadap banyak hal. Kau bisa bilang aku kekanakan, di umur yang kerap disebut masa remaja ini. Aku tak bisa bersikap dewasa seperti yang lain, otakku tak pernah bisa dingin dan hatiku tak pernah bisa tenang. Jantungku tak pernah bisa berhenti nyeri setiap berdetak, tubuhku tak pernah bisa berhenti bergetar setiap bicara di depan banyak orang. Kau bisa bilang aku terlalu dini untuk mengenal cinta. Ya, perasaan bahagia yang disatukan dengan bumbu-bumbu perih, seolah haram untuk kuicip sekarang ini. Masih terlalu kecil untuk mengerti sakitnya patah hati, katanya. Tapi ku tak peduli, begini-begini aku orang yang keras kepala, ingin selalu mencoba hal baru yang kutemukan.  Tapi kupikir, ada benarnya juga kau. Aku belum bisa menerima rasa sakit hati yang sungguh menyiksa batin ini. Mataku tak he...

Akhir yang Ku Mau

Sampai di umurku yang ke-18 tahun ini, aku masih memikirkan apa sebenarnya tujuanku untuk hidup. Mencapai surga? menghindari neraka?  Apa serealistis itu saja?  Aku tak tahu.  Yang ku tahu hanyalah hidup menjalani semua yang sudah seharusnya dijalani orang di umur segini. Belajar, menuntut ilmu setinggi mungkin, lulus dengan nilai bagus, bekerja, menemukan jodoh, lalu menikah. Mempunyai anak. Dan akhirnya, bersama keluarga kecil yang kubangun, aku hidup bersama jodohku hingga hari tua, hingga napas terakhir kuhembuskan dan genggaman tangan kita terlepas.  Mungkin seperti itu?  Aku yakin diriku tidak seperti itu.  Aku hanya ingin menjalani kehidupan kampus yang biasa, bertemu dengan kawan yang biasa, bercanda ria, menikmati masa muda dengan penuh petualangan dan tantangan, lalu— Entahlah. Aku pun tak tahu harus memikirkan apa setelahnya.  Setelah lulus, aku ingin bekerja? Entahlah. Aku...

Cerita Cinta yang Bodoh

Aku ingin berhenti mencintaimu. Jika dengan itu aku bisa menyayangi diriku. Aku ingin berhenti mencintaimu. Melupakan deretan desah rindu yang kau bisikkan padaku. Aku ingin berhenti mencintaimu.  Menghalau aroma tubuhmu merasuk dalam hidungku. Seketika, duniaku gelap. Aku ingin mati, karena ku tahu, mencintaimu adalah hal paling bodoh yang ku lakukan dalam hidupku.  Bodohnya diriku yang menelan segala bualanmu,  menyaring segala cacianmu,  mengiyakan segala keinginanmu. Aku bodoh. —kaniyoàraa

Awan yang Menurunkan Hujan

Aku akhirnya mencapai titik terendahku.  Air mata di sudut pipi mulai mengering. Netraku saja sampai lelah menangis.  Kenapa kau tak lelah membuatku menangis?  Aku akhirnya mencapai titik terendahku.  Tanpa kawan, tanpa kau, awan.  Sinar surya melukaiku, kau enggan lagi melindungiku. Aku kepanasan, aku kesakitan. Aku melebur menjadi sepenggal kisah lama yang tak ingin kau kenang yang dengan cepat diserap tanah.  Dibawanya aku ke dalam tumpukan sampah yang terpendam dalam.  Tak akan ditemukan siapapun. Aku akhirnya mencapai titik terendahku.  Jarak kita yang bagai jarak Venus ke Pluto, semakin lama semakin renggang.  Sepertinya kau sudah menemukan alasan baru untuk tetap menjadi awan yang terus menurunkan hujan.  Dan itu bukan karena kau hendak melindungi sebutir debu di jalanan ini, bukan?  Seburuk itukah aku?  Jika iya, katakan saja iya.  Jika tidak, aku tahu kau berbohong.  A...

Aku dan Dunia Maya

Rasanya aku tak ingin lagi mengenal siapapun dari internet.  Cukuplah sosial media menjadi sekedar alat informasi dengan keluarga dan kawan real lifeku saja. Bukan karena hal sepele, aku hanya lelah menghadapi setiap pencitraan yang mereka bangun, yang pula menjadi tameng yang tak bisa kulampaui.  Aku berkali-kali dikecewakan kawan sosial media, mulai dari hujatan dan makian mereka, hingga saling block akun dan berakhir menjadi dua pribadi yang asing. Mungkin memang kesalahanku, tapi bagaimana aku tahu dimana letak kesalahanku jika mereka tak memberitahu? Toh aku hanyalah manusia biasa yang tak jarang membuat dosa.  Cinta yang kukenal lewat jejaring sosial pun terasa lebih mudah dari cinta di real life. Dengan mudahnya bertemu, berchat ria, dan dengan mudah pula berpisah dan saling melupakan. Dengan mudah pula mencari pengganti. Toh banyak sekali pengguna jejaring sosial yang kesepian.  Namun, cinta yang terakhir tak semudah yang kupikirkan. Ia...

Tenang Saja

Aku sudah berkali-kali kau patahkan. Namun tak pernah sekalipun terpikir ku untuk meninggalkan. Aku sudah berkali-kali kau kecewakan. Namun hatiku terus saja memilihmu untuk urusan percintaan.  Aku sudah berkali-kali kau sepelekan. Meski begitu, kau tetap yang ku prioritaskan. Kau pikir aku bodoh?  Kau boleh anggap ku begitu.  Tenang saja, aku tak tersinggung kok. Kau pikir aku hanya buang waktu percuma? Kau boleh anggap ku begitu. Tenang saja, sejatinya tak ada yang percuma dalam urusan hatiku padamu.  Aku tak sekuat yang aku kira, tahu.  Tapi tenang saja,  Aku masih kuat bertahan.  —kaniyoàraa

Pengorbanan Tak Utuh

Aku, dengan potongan hati yang terakhir, memutuskan untuk mendedikasikannya kepadamu. Kau mau aku seperti apa?  Cantik? Aku akan berusaha mempelajari bagaimana merias diri. Seksi? Aku akan berusaha diet dengan menghindari segala makanan manis yang sangat kusukai.  Kau ingin aku seperti apa?  Pintar? Tenang, aku bersahabat dengan perpustakaan. Bau buku tua pun menjadi favoritku.  Baik? Kuharap kau tak sadar dengan pencitraan yang selama ini kubangun demi menarik perhatianmu.  Kau butuh apa dariku?  Uang? Tentu. Berikan saja nomor rekeningmu. Akan kuberikan berapapun nominal yang kau inginkan.  Cinta? Kau sudah memiliki cintaku seutuhnya, sayangku.  Segala hal kulakukan demi membuatmu bahagia,  Namun apa yang akhirnya kau berikan kepadaku?  Kebohonganmu. Kapan cintamu bisa seutuhnya menjadi milikku?  Kapan kau tak lagi pamrih terhadap perasaanku?  —kaniyoàraa

Terima Kasih, Cinta.

Sudah kukatakan berjuta-juta kali, Mungkin kau sudah bosan pula mendengarnya.  Meskipun begitu, aku tak akan pernah berhenti mengutarakannya padamu.  Ya, hanya kepadamu seorang hati ini berlabuh.  Hanya kepada dirimu, tempat yang selalu kujadikan sandaran kala senang maupun sedih.  Kutahu kau pun hanyalah manusia biasa,  bukan malaikat sempurna yang diutus Tuhan untuk menemani sepiku. Di segala kelebihanmu, dibalik ketampananmu, di antara kebaikanmu, Ada secuil dua tiga empat kelemahan yang sengaja tak sengaja kau tutupi dariku.  Aku tahu, dan aku memakluminya.  Akupun juga tak sempurna, sayang.  Aku hanya memiliki sepotong cinta,  Dan hanya kaulah yang bisa melengkapinya.  Terima kasih, cinta. Kau hadir mengubah rasa sakit ini, Menjadi bahagia yang tak henti membuncah dalam dada. Menghadirkan senyum di hari-hari gelap yang kulewati. Sekali lagi terima kasih, cinta. Berkatmu, aku terbebas dari rantai belenggu mas...

Wahai Bulan

Hai, Bulan. Jika kau bisa mendengarku, tolong menolehlah sebentar saja. Mendekatlah kemari, kubisikkan sebaris kalimat rindu untukmu. Kumohon, aku tak dapat menahan isi hati ini. Cinta ini, rindu ini, rasa menyesakkan ini benar-benar membuatku gila. Sial. Kau terlalu lama menyadarinya. Waktuku tak lama lagi di sini, bulan. Wahai Bulanku sayang. Sebelum aku jadi mentari, aku ingin menyentuh wajahmu. Sebelum kita terpisah lebih jauh lagi, biarkan kukatakan ini padamu. Bulan, aku mencintaimu. Selamat tinggal. — kaniyoàraa

Cinta...? #01

Bagaimana aku menjalani cinta selama ini? Berpindah-pindah hati, dengan alibi mencari cinta yang pasti. Padahal bisa saja yang kutemui itulah si cinta sejati. Namun diriku tak bisa berhenti. #bcd  Jadi gini, Setelah penuh petualangan dan menyicip segala rasa cinta—cinta monyet, cinta babi, cinta segitiga, cinta pentagon, cinta-cintaan, cinta beneran tapi ditinggal pergi, cinta tapi gengsi, cinta dalam diam, cinta bertepuk sebelah kaki—aku menyadari bahwa tidak semua lelaki itu brengsek. Meskipun tidak menutup kemungkinan tetap saja ada lelaki hidung belang di setiap sudut kesempatan.  Cinta nggak melulu soal kabar-mengabari. Cinta nggak melulu soal nafsu. Cinta nggak melulu soal obsesi. Kalau masih bocah ya emang gitu sih. Nggak ngabarin seharian dikiranya selingkuh. Di listchatnya ada kontak cewek satu doang, cuma nanya tugas, marahnya sampe Eropa gempar. Isi statusnya langsung kata-kata galau, seolah butuh bahu lain untuk bersandar. Profil me...

Wajar, kah?

Dia seperti gula, Wajar jika banyak semut yang mengerubunginya, Ingin memilikinya. Dia seperti matahari, Wajar jika banyak planet mengitarinya, Ingin selalu dekat dengannya. Dia seperti boneka lucu, Wajar jika banyak gadis ingin membelinya, Ingin memonopolinya. Cinta memang semenyedihkan itu, Dia bagai cahaya, dan kau hanyalah bayangan saja. Dia bagai bintang, dan kau hanyalah serpihan debu angkasa saja. Dia bagai bunga, dan kau hanyalah secuil duri di batangnya saja. Jadi wajar saja, bukan? Jika dia lantas memilih bersama yang lain, Karena kau tak semenarik itu. Wajar, bukan? Jika hatinya lari ke gadis lain, Karena kau tak mampu membuatnya semakin jatuh hati padamu. Wajar, kah? Jika rasa ini tak bisa merelakan, Melihat kau sibuk bercanda dengan gadis lain, Sedangkan aku sibuk menangis mencari alasan lain, Untuk tetap bertahan atau melepasmu. Wajar, kah? — kaniyoàraa